Jasa Pijat Urut Kusuk Tunanetra Najaha Sehat Bila anda berada di Kabupaten Siak Sri Indrapura Propinsi Riau, anda dapat memanjakan tubuh anda dengan jasa layanan pijatan profesional oleh terapis yang bersertifikat. Kunjungi situs resmi kami untuk info selengkapnya di http://www.najaha.id

Cari artikel

Perahu di Kolong Jembatan

Sebenarnya cerpen ini pernah terbit di blog saya terdahulu yang kini sudah punah.
Agar tak terbuang percuma, maka saya terbitkan salinannya di sini.
Kali ini sudah ada sedikit perbaikan dibanding versi sebelumnya.
Mau tahu bagaimana ceritanya? silahkan simak di bawah ini.

Situs asal : wanzul.mywapblog.com
28 Sep 2016 00:49:02 +0700
Categories: karya tulis kemilau

Perahu di Kolong Jembatan

Oleh : Wan Zul Chairansyah

Pria paruh baya itu bernama Samin. Sehari-hari ia menyewakan perahunya menyeberangkan orang-orang yang hendak ke kota di seberang sungai.
Bertahun-tahun pekerjaan ini ia geluti dengan penuh syukur. Mulai subuh dan penghujung senja ia bekerja, dan pulang dengan wajah bahagia karena hari itu ia dapat menafkahi istri dan anaknya.
Tapi, beberapa hari ini Samin tidak begitu sibuk menyeberangkan orang-orang.
Mereka masih banyak yang trauma karena ada laki-laki yang terbawa arus sungai dan berakhir di mulut buaya.
Masih terbayang olehnya di saat Pria naas itu tengah berjuang melawan maut ketika tubuhnya terbawa arus sungai yang sangat deras.
Saat laki-laki itu berhasil berpegangan ke akar-akaran yang menjuntai di tebing sungai, seekor buaya menghentikan perjuangan pria itu dengan menangkap dan menyeretnya menjauh dari tepian.
Samin dan penumpang perahunya tak bisa berbuat apa-apa. Mereka masih di tengah sungai dan hanya bisa menjerit ngeri ketika menyaksikan tubuh pria itu dibawa masuk ke dalam sungai dan tentunya akan menjadi santapan buaya-yang berhasil mendapat makanan enak.
Terburu-buru ia mendayung perahu ke tepian dan mereka bergegas pulang hendak mengetahui siapakah yang dimangsa buaya tadi.
Setelah melaporkan kejadian naas itu ke kepala desa, ternyata mereka mengambil kesimpulan si Nanang suami Ninislah pria tadi.
Nanang berpamitan untuk memancing di sore itu dan sampai saat warga berkumpul di rumah kepala desa, ia tidak muncul.
Yakinlah para warga kalau Nananglah yang dimakan buaya sungai tadi.

Ninis berkali-kali pingsan karena tak sanggup menerima kenyataan kalau suaminya yang jadi korban.
"Aku sudah melarangnya pergi karena saat ini pasti di tebing sungai masih licin sehabis hujan tadi siang, tapi ia tetap ingin pergi juga." keluh Ninis dipelukan ibunya.
Ibu Ninis tak bisa menghibur puterinya. Ia hanya mampu mendekap dan membelai Ninis.
Menyaksikan keadaan Ninis, Samin jadi merasa sedih.
Ia langsung menyaksikan bagaimana Nanang diterkam makhluk buas itu.
Perlahan ia mengelus kepala keponakannya dan berkata lirih: "Sudahlah Nis, ini memang kehendak yang kuasa. Kamu harus tabah dan ingat kesehatanmu!" Samin mencoba menguatkan keponakannya dengan nasehat yang agak dipaksakan.
Ia sendiri masih tidak percaya dengan kejadian itu.

Pagi harinya tidak ada orang yang berani menyeberang ke kota.
Apa lagi mereka yang menyaksikan langsung peristiwa Nanang yang dimangsa buaya,Mereka masih gemetaran bila melewati sungai.
Termasuk Ninis yang kini tinggal bersama ibunya. Sebenarnya saat ini bayinya perlu dibawa ke dokter untuk berobat.
Tadi malam bayinya mendadak panas. Tapi ia tidak berani membawa anaknya ke kota.
Padahal pamannya sudah membujuknya dan akan menemaninya ke kota.
Tapi Ninis masih belum berani juga.
"Aku masih takut melewati sungai itu, paman." tolaknya ketika sianghari itu Samin mengajaknya untuk membawa bayinya berobat.
"Tapi anakmu butuh perawatan yang lebih baik, Nis." Bujuk Samin.
Ninis masih menggeleng. Ia betul-betul masih terguncang dengan peristiwa kematian suaminya yang tragis.

Memang aneh, entah kenapa semenjak kematian bapaknya bayi itu sering sakit-sakitan.
Tubuhnya semakin kurus dan kondisinya semakin parah.
Suatu ketika, disaat Samin terlelap di tengah sepinya malam, ada yang menggedor rumahnya.
Sontak seisi rumah terbangun dan dengan agak sempoyongan, Samin menyeret tubuhnya mendekati pintu serta perlahan membukanya dan dengan lirih bertanya,
"Ada apa Nis? Kenapa dengan anakmu?"
Mata Samin yang masih setengah terbuka menatap sosok Ninis yang terisak sambil menggendong bayinya.
Ia agak sedikit heran mengapa tengah malam begini keponakannya datang
"Tolonglah paman! Anak Ninis panas tinggi, kita harus membawanya ke rumah sakit seberang." ujar Ninis panik.
Tampangnya sangat cemas dan gelisah. Ia terus mendekap anaknya yang terlihat menggigil dan berselimut tebal.

Melihat keadaan bayi Ninis yang kini kejang-kejang,bergegas Samin mempersiapkan diri dan membawa mereka ke seberang sungai.
Tetapi nasip memang tidak berfihak kepada mereka. Sejak magrib tadi hujan sangat lebat dan arus sungai menjadi semakin deras.
Samin tidak bisa menjalankan perahunya dengan cepat karena takut celaka bila ada kayu atau pepohonan yang hanyut menabrak perahunya yang kecil.
Perlahan ia mengayuh perahu dan menggeliat berkelit menghindari pohon yang hampir memecahkan perahunya, dan akhirnya sekitar satu jam lebih barulah mereka berhasil menyeberang sungai.
Disaat perahu merapat dan berlabuh, disaat itu juga anak ninis merapatkan matanya untuk tidak terbuka lagi.
Ia keburu lemas dan bayi itu terlambat untuk diselamatkan.
Ninis histeris berteriak meratapi nasip yang menimpanya. Baru saja lima hari ditinggal suami yang mati diterkam buaya sungai, kini anaknya menyusul ayahnya disaat menyeberangi sungai pula.
Saminhanya tertunduk lemas dan hanya bisa menangis pilu melihat nasip keponakanya yang malang.

Tubuh Ninis terguncang-guncang sambil memeluk jasat anaknya yang kini mulai dingin.
"Bangun! Bangunlah nak! Maafkan ibu yang terlambat mengobatimu!" Ninis meratapi tubuh kaku dan membasahi muka mayat itu dengan air matanya.
Samin mulai dapat menguasai diri dan segera mengambil tindakan.
"Mari kita kembali dan kita selenggarakan jenazah anakmu." Ajak Samin sambil kembali berbalik dan berjuang menghindari benda-benda yang terbawa arus sungai yang ganas.

*****

Sudah setahun peristiwa meninggalnya anak Ninis yang terlambat mendapat pertolongan medis.
Tapi Ninis masih sering meratapi kepergian anak dan suaminya.
"Nis, tidak baik terus-terusan menyiksa diri. Kalau saran paman, menikahlah lagi. Usiamu masih muda dan masih berkemungkinan memiliki keturunan." tukasnya sambil tangannya mendayung perahu.
Dengan kebetulan hari itu Ninis hendak membeli keperluannya di kota seberang dan ia duduk tak jauh dari pamannya.
Saat itu Samin tak menyia-nyiakan kesempatan menasehati keponakannya yang selalu nampak murung itu.
Ninis hanya menganggukan kepala tanda ia menerima saran pamannya.
Sudah berulang kali Saminmengatakan hal yang sama dan Ninis masih belum bisa melakukan saran pamannya.
Kali ini Samin bertekat untuk mengubah hidup keponakannya.

Ia menemani Ninis berbelanja dan mengajak keponakannya melihat-lihat keramaian kota.
"Sekali-sekali kamu butuh hiburan biar tidak jenuh." ajaknya ketika melihat ada keramayan.
"Ah! itu ada spanduk dan banyak yang menuju kesana." kata Samin sambil menarik tangan Ninis mendekati kerumunan orang yang tengah membaca pesan spanduk itu.
"Ini kesempatanmu untuk mengubah nasip, ayolah kamu mendaftar!" Ujar pamannya ketika mendapati spanduk itu berisi lowongan pekerjaan untuk menjadi kariawan di pabrik roti.
Matanya berbinar menatap keponakannya yang memenuhi syarat untuk mengikuti tes yang diadakan pabrik itu.
"Tapi ... aku ...." Ninis tak yakin.
"Sudahlah Nis, kamu percaya sama paman. Kamu akan jadi orang sukses. Jangan menyianyiakan kesempatan yang belum tentu akan ada lagi!"
Setelah puas membujuk, Ninis dapat menerima saran pamannya dan dengan semangat yang baru, ia minta ditemani pamannya untuk mendaftarkan diri menjadi kariawan pabrik roti.
Samin sangat senang karena Ninis langsung di terima dan besok sudah boleh mulai bekerja di sana.
"Sebaiknya kita cari tempat tinggalmu di sini agar kamu tidak harus bolak-balik dari kota ke desa kita."
Ninis menyetujui ajakan pamannya dan berhasil mendapatkan kamar kos yang harganya cukup murah dan tak jauh dari pabrik tempat ia akan bekerja besok.

Sore harinya Ninis pulang ke rumah dan berkemas sambil pamitan kepada ibunya kalau ia besok subuh-subuh akan ikut pamannya kembali ke kota dan tak pulang lagi ke desa.
Awalnya ibu Ninis tidak setuju kalau anaknya pergi meninggalkannya, tetapi setelah dibujuk adiknya Samin, akhirnya ia bisa mengerti.
Ia melepaskan puterinya meninggalkan desa dan memilih bekerja di kota.

Benar saja, berkat ketekunan dan kecekatan Ninis bekerja, ia mendapat perhatian dari bosnya dan hal itu membuat mereka semakin mengenal satu sama lain.
Lama kelamaan perasaan mereka mulai bertaut.
Beberapa bulan kemudian, Ninis pun dilamar.
Ninis sangat berterimakasih kepada pamannya, berkat kegigihan pamannya yang mengusulkan agar Ninis merantau, kini tidak saja kesedihannya terhapus, malah kini ia telah menjadi isteri pengusaha yang kaya.

Suami Ninis sangat dermawan, ia sering berkunjung ke desa Ninis dan tak jarang sakunya mengempis karena ia dengan ringan mengulurkan bantuan kepada warga miskin di desa.
Perlahan desa Ninis menjadi maju dan semakin sibuklah Samindengan perahunya yang hilir-mudik mengantarkan orang yang hendak datang dan pergi.
Tetapi inilah zaman yang terus berubah dan berkembang. Seseorang terlahir ke dunia, tumbuh menjadi anak-anak, kemudian dewasa dan begitulah seterusnya. Begitupun dengan desa Saminyang semakin berkembang.
Lama kelamaan orang mulai berfikir untuk mempermudah menyeberangi sungai yang terkenal ganas itu.
Ide itu muncul begitu saja dan seiring perkembangan ilmu pengetahuan, mulailah pemuda dan pengusaha di desa membangun jembatan agar mempermudah serta membuat desa mereka tak perlu cemas lagi bila hendak menyeberangi sungai yang harus bertarung dengan arus dan buaya yang dengan manisnya menunggu manusia yang akan digiring arus sungai kepangkuannya.
Maka jadilah jembatan megah itu, dan desa yang dulunya sepi, kini telah menjadi ramai dan disebut kota pula.

Bagaimana dengan kehidupan Samin? Kini ia telah menganggur. Keahliannya hanya dibidang penyeberangan dengan perahu bututnya.
Ia hanya bisa mengelus-elus dayung perahunya dan tak jarang ia membawa perahunya ke kolong jembatan dan menatap keatas dan mengagumi susunan beton yang kuat dan lebih perkasa dibanding perahunya.
Meratapkah Samin? Salahkah mereka yang melupakan jasa Samin?
Dengan adanya jembatan megah itu, apakah mereka tidak memikirkan nasip Saminyang akan kehilangan mata pencahariannya?
Dan salahkah mereka yang ingin memiliki rasa aman menyeberang dengan jembatan dari pada berjuang dengan maut menaiki perahu Samin?
Apa mereka lupa, bila tidak ada Samin, tentunya mereka tidak bisa menuntut ilmu di kota?
Tak jarang Saminhampir mati diterkam buaya demi menyelamatkan penumpangnya. Tidak ingatkah mereka dengan pengorbanan Saminitu?
Serta apakah Saminmerasa dirugikan dengan pembangunan jembatan itu?
Entahlah.

Bagi yang kebetulan berkunjung ke kota Siak,
dipersilahkan mampir ke Klinik pijat urut kusuk Najaha Sehat untuk merasakan manfaat massage terapi.
Aha, tak usah khawatir bagi para wanita,
ada isteri saya yang siap memijat full body.
Jadi ga akan risih bila diterapi nanti.
Untuk dede bayi juga akan diterapi oleh isteri saya.

Baca juga Postingan terkait di bawah ini:

Belum ada tanggapan untuk "Perahu di Kolong Jembatan"

Posting Komentar